Langsung ke konten utama

Paly is Back

Tidak heran orangtua dan pendidik jaman sekarang merasa lelah. Kita terperangkap dalam asumsi yang keliru. Kita diberitahu bahwa “lebih cepat itu lebih baik” dalam membesarkan dan mendidik anak. Kita harus mendorong anak untuk terus belajar seperti sedang berada dalam sebuah arena kompetisi yang tak pernah usai. Kita diberitahu bahwa setiap menit dari kehidupan anak harus diisi oleh hal-hal yang “bermakna”, seperti, memberikan musik klasik pada bayi dalam kandungan, memberikan flash cards kepada anak usia belum genap satu tahun, membelikan mainan edukasi semata enggan memberikan mainan sungguhan. Semua dilakukan orangtua agar anaknya memiliki kemampuan intelektual hebat, juga cepat. Anak ibarat kertas kosong yang harus dilukis indah oleh orangtua untuk kehidupan mereka kelak.

Banyak keluarga saat ini, terutama di kota besar seperti Jakarta, kedua orangtua bekerja. Banyak waktu habis di luar rumah. Kondisi ini memunculkan rasa bersalah orangtua. Orangtua ingin memastikan anak berada dalam pengasuhan terbaik. Orangtua juga didorong oleh rasa takut menghadapi masa depan yang tidak pasti. Orangtua membekali anak dengan senjata lengkap untuk menghadapi hari esok dan mengantisipasi kegagalan. Waktu anak diisi dengan banyak kegiatan terbaik menurut orangtua. Anak dijejali dengan beragam les setiap harinya. Akhirnya, anak hanya memiliki waktu luang di hari libur. Fenomena yang sudah “biasa” pada jaman ini sekaligus mengenaskan bagi anak kita.

Rasa takut, rasa bersalah menciptakan orangtua dan pendidik yang panik. Kepanikan terus menjalar dan menular sehingga membentuk asumsi yang keliru mengenai bagaimana membesarkan dan mendidik anak.



Pemujaan terhadap prestasi dan hilangnya masa kanak-kanak

Kegiatan sekolah dan jadwal les yang padat membuat anak terbeban. Anak menderita dengan tuntutan jaman. Anak Playgroup sudah dituntut untuk bisa membaca huruf dan angka. Sementara Anak Taman Kanak-kanak sudah dituntut bisa menjumlah dan membaca kalimat.

Tidak heran, banyak anak mengalami cemas, stres dan depresi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan kecemasan pada anak. Ini terjadi mungkin karena peningkatan jumlah tes akademis. Di sisi lain, harapan orangtua pada nilai akademis anak begitu tinggi. Kecemasan ini mengganggu proses belajar dan kinerja anak. Hal lain yang mencemaskan adalah kurangnya frekuensi interaksi anak dengan orangtuanya. Padahal anak merasa aman dan nyaman saat berada di dekat orangtua dan di tengah keluarga. Diduga, ini menyebabkan meningkatnya tingkat kenakalan, kriminalitas, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.

Masalah lain yang timbul karena pemujaan terhadap prestasi adalah menurunnya kuatitas kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi ini meliputi kemampuan pengendalian diri, keuletan, ketekunan, kemampuan memotivasi diri dan orang lain, welas asih serta empati. Itulah esensi dari karakter seseorang.

Apa yang terjadi dengan bermain? Tahun 1981, anak-anak usia sekolah memiliki 40% waktu bermain. Tahun 1997, waktu bermain menurun hingga tinggal 25%.



Bahaya kurang bermain

Apakah waktu bermain yang sedikit bermasalah bagi anak? Beberapa ahli berpendapat, kurangnya bermain menimbulkan depresi dan sikap bermusuhan dalam diri anak. Coba saja kita bayangkan, apa yang kita rasakan kalau kerja terus tanpa cuti dan liburan? Kita akan mengalami depresi juga, bukan? Anak kita juga butuh istirahat untuk mengasimilasi hal-hal yang telah dipelajari, juga untuk sekedar bersenang-senang.

Data terbaik diperoleh dari penelitian dengan sejumlah hewan. Jaak Panksepp, profesor dari Bowling Green University di Ohio menggunakan seekor tikus yang diberi dua buah perlakuan. Pertama, tikus tersebut dikondisikan kurang bermain. Apa yang terjadi pada tikus ini? Tampak terlihat efek negatif pada otak di bagian lobus frontal. Bagian otak ini adalah pusat pengendalian diri terletak. Selanjutnya, tikus tadi dibiarkan bermain. Terjadi perbaikan pada otak dengan sendirinya pada tikus yang bermain. Jadi, perkembangan otak akan menjadi lebih baik dengan bermain.



Pentingnya bermain

Umumnya orangtua memahami makna bermain meskipun terdapat fakta adanya penurunan waktu bermain yang diberikan orangtua pada anak sejak tahun 1980. Survey oleh Harvard University tahun 2000, ada 87% orangtua dari anak berusia tiga sampai lima tahun menganggap bermain adalah penting untuk perkembangan sehat pribadi anak. Orangtua bahkan tahu jenis-jenis permainan yang terbaik bagi anak.

Orangtua paham apa yang harus dilakukan, namun tidak dapat melakukannya. Orangtua takut jika mempercayai naluri membiarkan anak bermain, anak akan kehilangan waktu untuk belajar. Seorang ibu mengatakan, “Kalau anak saya biarkan hanya bermain, dia akan kehilangan waktu berharga untuk belajar. Apa rasanya kalau anak saya tertinggal dari anak-anak yang lain?”

Bermain sama saja membuang waktu adalah mitos salah yang sudah meresap dalam lingkungan berorientasi pada prestasi dan mengagungkan intelektual semata. Para peneliti di dunia sependapat, bahwa bermain menjadi pondasi yang kokoh bagi perkembangan intelektual, kreativitas, kemampuan memecahkan masalah, serta sebagai esensi perkembangan emosi dan kemampuan sosial. Bermain memegang kunci dalam pemenuhan hidup yang sehat bagi anak. Bermain adalah kunci kebahagiaan dan kecerdasan anak.

Jenis permainan berbeda untuk tiap usia. Orang dewasa sudah tidak bermain air di bathtub dengan bola warna warni. Begitupun anak belum mampu bermain Scrabble yang justru menarik bagi kita orang dewasa. Permainan memiliki tingkat kompleksitas yang berbeda antar usia. Permainan adalah cermin perkembangan pikiran anak yang semakin kompleks seiring bertambahnya usia.



Einstein tidak pernah menggunakan flash cards

Pelajaran apa yang bisa kita lihat dari masa kanak-kanak Einstein? Sederhana, Einstein memilih jalannya sendiri. Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk bermain. Orangtua dan keluarga memberi perhatian pada minat Einstein dan mendukungnya dengan pelajaran, mainan, buku, juga kebebasan melakukan apa yang dia sukai. Einstein punya kebebasan menjadi dirinya sendiri, kebebasan menelusuri masalah yang menarik baginya. Jika orangtua Einstein tidak pernah memberikan flash cards, mengapa orangtua jaman modern punya keyakinan mereka harus mengajar anak membaca sebelum usia tiga tahun?



Empat prinsip orangtua dalam mendampingi anak

Sekarang kita sudah disadarkan bahwa keliru mendesak masa kanak-kanak dengan mengorbankan waktu bermain demi mempercepat perkembangan intelektual. Kita dapat melangkah maju dengan cara yang lebih sehat berdasarkan empat prinsip di bawah ini:



Prinsip 1: Belajar sesuai kapasitas alamiah anak

Anak butuh orangtua, pendidik, pengasuh, dan orang dewasa lain yang dapat menantang kemampuan alamiahnya. Mengapa mengajarkan ilmu roket pada anak umur tiga tahun padahal mereka belum mengerti tentang awan? Lebih baik meminta tolong anak mengambil empat buah sendok makan dan menghitungnya bersama untuk mengajari makna angka empat daripada menggunakan flash cards. Menunjukkan masalah-masalah yang bisa dilihat dan diketahui secara langsung oleh anak mendukung perkembangan kogitif anak. Berbeda bila kita meminta anak melakukan sesuatu di luar kemampuan alamiahnya, kita sedang menciptakan frustrasi, bahkan menimbulkan perasaan tidak berdaya.



Prinsip 2: Penghargaan pada proses memunculkan rasa suka belajar

Kita ingin anak menyukai proses belajar, bukan pertama terbeban oleh hasil. Lebih penting mengajak anak tahu bagaimana berpikir dan memperoleh jawaban daripada benar atau tidaknya jawaban tersebut. Coba ingat apa yang kita rasakan saat tes. Berulang kali kita menghadapi tes dan selalu cemas akan hasilnya. Kita cenderung mengajarkan anak untuk mengerjakan tes dengan baik, bukan bagaimana berpikir dengan baik. Selanjutnya mereka akan menjadi pelajar yang penuh rasa takut. Penekanan pertama pada proses belajar daripada hasilnya akan membantu menciptakan kecintaan anak untuk belajar.


Prinsip 3: Kecerdasan emosi, tidak hanya intelektual

Ada hal lain yang penting selain memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi. Penting bagi anak untuk meraih prestasi akademis di sekolah, namun ini belum cukup. Kecerdasan emosi tidak kalah penting. Hubungan antara kecerdasan emosi dan keberhasilan akademis di kelas sudah bisa dilihat sejak Taman Kanak-kanak. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang mudah berteman dan diterima oleh lingkungannya mampu mandiri dan berprestasi secara akademis. Kecerdasan emosi dan intelektual adalah dua hal yang tidak terpisahkan dalam perkembangan anak.

Salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan perkembangan intelektual dan emosi adalah permainan sosial. Permainan sosial memiliki keuntungan bagi perkembangan emosi, kognitif dan meningkatkan kemampuan sosial. Dalam permainan sosial ini anak mengeksplorasi banyak hal, di antaranya mengembangkan kemampuan kerjasama kelompok, solidaritas, negosiasi, belajar menerima kemenangan dan kekalahan dengan sportif, serta membuat, menyepakati dan menjalani aturan sosial. Beberapa permainan sosial yang sudah kita kenal adalah petak umpat, galasin, benteng, lompat karet, engklek.



Prinsip 4: Belajar dalam konteks bermain adalah guru terbaik


Peran orangtua dan pendidik adalah membawa anak belajar dalam konteks. Anak bisa bermain menjadi dokter, bermain Barbie dengan miniatur peralatan rumah tangga yang lengkap. Bermain adalah arena dimana anak bisa mencoba apa saja tanpa ada konsekuensi bagi kehidupan nyata karena semua hanya bermain peran. Belajar dalam konteks bermain membawa anak pada dunianya dimana memberikan ruang bagi imajinasinya untuk berkembang. Anak merasa dunia berada dalam kendalinya sehingga belajar menjadi benar-benar bermakna.

***


Membaca uraian di atas, kita paham bahwa mitos “lebih cepat itu lebih baik” dalam membesarkan dan mendidik adalah mitos yang perlu ditinjau kembali. Sekarang kita dapat menyatakan BERMAIN = BELAJAR. Bermain adalah kunci kebahagiaan dan kecerdasan anak. Anak yang memiliki banyak waktu bermain menjadi lebih bahagia. Anak yang lebih bahagia mampu menjalin relasi lebih baik dengan teman-teman sebayanya dan lebih bisa menaruh perhatian pada pelajaran di kelas. Mereka menjadi lebih baik di sekolah. Kecerdasan intelektual dan emosi terbukti dapat berkembang melalui bermain. Bermain memegang peranan penting dalam pemenuhan hidup yang sehat bagi anak.

Anak memerlukan kedekatan emosi dengan orangtuanya. Hubungan anak dan orangtua yang terpelihara baik mendorong perkembangan intelektual dan emosi yang sehat pada anak. Jika orangtua Einstein tidak pernah memberikan flash cards, mengapa kita harus?





Adaptasi dari: Buku Einstein Never Used Flash Cards.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONEKSI ANTAR MATERI 3.1 PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

                            ======= TERIMA KASIH ========

PRINSIP PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN

  CREATED: YULIANA, S.Si.,S.Pd.,M.Pd. Pendidikan yang memerdekakan adalah Pendidikan yang menciptakan kebahagiaan lahir dan batin dimana yang dimaksud adalah peserta didik   bisa mandiri, bisa berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, menyadari hak dan kewajiban. Seperti pada konsep yang dipaparkan oleh KHD, dimana Konsep pendidikan yang memerdekakan Ki Hadjar Dewantara yang bermakna bahwa pendidikan seharusnya mengantar anak didik menjadi manusia merdeka, namun tidak mengganggu kemerdekaan orang lain. Inilah yang oleh Ki Hadjar disebut sebagai manusia merdeka yang cakap mengatur hidupnya secara tertib. Dan konsep KHD sangat selaras dan banyak diterapkan di sekolah sekolah sekarang ini, melalui praktik baik baik. Kebijakan-kebijakan pendidikan seperti penentuan kurikulum, akses pendidikan, pendistribusian guru, penentuan anggaran pendidikan, pelibatan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan sebagainya, sudah sepatutnya berlandaskan pada visi pendidikan yang memerdekak

my Mayyana (Aysha Afiqah Mayyana & Aishwa Afiyah Mayyana)